Senin, 25 Mei 2009

Hadits Majazi

HADITS-HADITS YANG BERMAKNA MAJAZI
OLEH: AHMAD GHOZI

I. Pendahuluan
Terdapat metode tersendiri untuk memberi makna nash-nash syara’ (ayat al-Qur`an dan hadits Nabi). Metode ini digali dari kaidah bahasa Arab dan juga dari nash-nash syara’ itu sendiri. Adapun metode yang digali dari kaidah bahasa Arab, terumuskan dalam kaidah: ولا يصرف إلى المجاز إلا مع القرينة الأصل في الكلام الحقيقة (al-Ashlu fil kalam al haqiqah, wa laa yushrafu ilal majaaz illa bil qarinah).
Pada dasarnya pembicaraan/ucapan itu harus diartikan lebih dahulu secara makna hakiki (sebenarnya), dan tidak dialihkan kepada makna majazi (kiasan/metaforis) kecuali dengan adanya qarinah (indikasi).” Kata “asad” misalnya, makna hakiki-nya adalah harimau. Tapi dalam kalimat رأيت أسدا في المنبر (saya melihat “harimau” di atas mimbar) kata “asad” mempunyai makna majazi, yaitu rajulun syujaa’ (lelaki yang gagah berani). Sebab ada qarinah yang mengalihkannya dari makna hakiki menjadi makna majazi, yaitu potongan kalimat “fil mimbar” (di atas mimbar).
Sudah diketahui, tak ada harimau yang bisa bicara di atas mimbar. Maka arti “asad” bukan hewan yang dikenal, tetapi manusia yang sifatnya seperti harimau, yakni gagah berani. Jadi, karena nash-nash syara’ adalah berbahasa Arab, maka terlebih dahulu harus diartikan secara hakiki. Baru bila tidak memungkinkan atau jika ada qarinah, diartikan secara majazi.
Lebih jauh, pemberian makna hakiki mengikuti urutan (tertib) sebagai berikut:
1. Makna hakiki syar’i, lalu
2. Makna hakiki urfi, lalu
3. Makna hakiki lughawi.
Ketiganya adalah makna hakiki. Jika ketiganya tidak atau belum bisa memaknai suatu nash syara’, maka barulah suatu nash syara’ diartikan secara majazi. Makna hakiki syar’i adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah dialihkan dari makna lughawi-nya, dikarenakan nash-nash syara’ telah memberikan tambahan makna yang lebih dari sekadar makna bahasanya. Contohnya adalah kata (lafazh) sholat, shaum, zakat, haji, jihad, islam, iman, dan sebagainya.
Kata sholat secara lughawi (yang diambil dari kamus bahasa Arab) artinya adalah ad du’a (doa). Tapi nash-nash syara’ (khususnya hadits) telah menjelaskan tatacara Nabi sholat, sehingga kita tidak dapat lagi mengartikan nash syara’ yang menyebut “sholat” dengan arti bahasanya (doa), sebab sudah tambahan makna dari sekadar makna bahasanya. Sholat secara syar’i lalu diartikan suatu kumpulan perbuatan dan perkataan (doa) yang diawali takbir dan diakhiri salam. Kata shaum secara bahasa, sebagaimana terdapat dalam kamus bahasa Arab, artinya adalah imsaak (menahan diri). Tapi nash-nash syara’ (al-Qur`an khususnya al-Baqarah: 187) dan juga hadits-hadits nabi memberikan makna tambahan dari kata shaum itu, yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan hal-hal yang membatalkan shaum dari shubuh sampai malam (maghrib) disertai niat. Inilah makna syar’i dari shaum.
Jika suatu kata telah memiliki makna syar’i, maka ia tidak boleh diartikan lagi secara lughawi, kecuali terdapat qarinah yang tidak memungkinkan pemberian makna secara syar’i. Dalam keadaan demikian, kata itu diartikan kembali ke makna asal (secara lughawi). Misalkan kata “sholat” dalam at-Taubah: 103, “wa shalli alayhim” tidak dapat diartikan (sholatlah kamu atas mereka), tetapi (berdoalah kamu untuk mereka). Sebab ayat yang ada tidak sedang menjelaskan masalah sholat (secara syar'i) tetapi pemungutan zakat, yaitu disunnahkan bagi pemungut zakat untuk mendoakan (bukan menyolatkan) para muzakki setelah mengambil zakat dari muzakki.
Adapun makna hakiki urfi adalah makna hakiki (bukan majazi) yang telah menjadi urf (kebiasaan) orang Arab dalam mengartikan suatu kata. Contohnya kata daabbah dan ghaaith. Kata dabbah makna lughawi-nya adalah segala makhluk yang melata di muka bumi (termasuk hewan dan manusia). Namun secara urfi orang Arab lalu menggunakan kata daabbah dalam arti dzawatul arba’ (hewan berkaki empat) seperti sapi, tidak termasuk manusia. Ghaaith arti lugawinya adalah al makanul munkhafidh (tempat yang rendah). Tapi secara urfi lalu digunakan untuk buang air (qada'ul hajah).
Jadi dalam makna urfi, makna lughawinya tidak dipakai lagi. Maka dari itu, kata “ghaith” dalam al-Qur`an (al-Baqarah: 43, al-Maidah: 6), tidak diartikan lagi sebagai “tempat yang rendah”, tetapi “buang air”.
Adapun makna hakiki lughawi adalah makna hakiki (bukan majazi) yang menunjuk pada arti asalnya secara bahasa. Contohnya, kata jaa’a (datang), dzahaba (pergi), as samaa’ (langit), al ardh (bumi), dan sebagainya.
Selain makna hakiki yang terkandung dalam nas al Quran maupun hadits, dalam nash-nash hadits nabi Muhammad saw, banyak dalam nas tersebut terkandung makna metafora (majazi, kiasan). Makalah singkat ini akan mengangkat beberapa hadits Nabi yang memiliki kandungan makna metafora atau majazi tersebut. Mudah-mudahan makalah singkat ini dapat bermanfaat.
II. Pembahasan
A. Hadist-Hadits Yang Mengandung Makna Majazi
1. Hadits Pertama
Hadis tentang Orang kafir mempunyai tujuh usus
Struktur tubuh manusia , dari manapun asal-usul dan apapun agamanya, menurut ilmu anatomi tubuh, memiliki kesamaan komponen anggota tubuh, baik struktur luar maupun struktur dalam. Ia memiliki kepala, tangan, kaki, rambut, jantung, paru-paru, limpa, dan termasuk usus. Akan tetapi, dalam hadis Nabi Saw ditemukan informasi bahwa "orang kafir makan dengan tujuh usus" . Hal ini bertentangan dengan ilmu anatomi tersebut. Hadis tersebut dapat dilihat dalam kitab hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari , Imam Muslim , Imam Turmuzi , dan Ibnu Majah . Redaksi hadis versi Imam al-Bukhari dapat dilihat berikut ini:
حدثنا سليمان بن حرب حدثنا شعبة عن عدي بن ثابت هن أبي حازم عن أبي هريرة أن رجلا كان يأكل أكلا كثيرا فأسلم فكان يأكل أكلا قليلا فذكر ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال إن المؤمن يأكل فى معى واحد والكافر يأكل في سبعة أمعاء.
Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami (ia berkata), Syu'bah menceritakan kepada kami (yang diperoleh) dari 'Adiy bin Tsabit (yang berasal) dari Abu Hazim (bersumber) dari Abu Hurairah (menuturkan), bahwa ada seseorang yang makan banyak, (pada akhirny) lalu ia masuk Islam, kemudian orang tersebut (berubah) makan sedikit". Hal ini disampaikan kepada Nabi Saw, kemudian Nabi Saw bersabda: "Sesungguhnya orang mukmin makan dengan satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh usus".
Versi lain dari redaksi hadits lain adalah seorang kafir datang ke rumah Nabi Saw, kemudian dijamu dengan perahan susu kambing, lalu diminum. Beberapa hari kemudian, ia masuk Islam, lalu Nabi Saw menjamu minum susu kambing perah. Ketika diberi tambahan lagi minuman, ia tidak meminumnya. Nabi Saw bersabda: "Orang mukmin minum dengan satu usus, sementara orang kafir minum dengan tujuh usus.
Pemahaman tekstual terhadap hadis Nabi Saw akan terjebak kepada pemahaman yang parsial dan tidak komprehensif, karena mengabaikan aspek internal teks yang sangat terikat dengan bahasa dan budaya. Karenanya, pemahamannya dapat bertentangan dengan sains biologi. Namun hadis Nabi Saw tersebut sangat terkait dengan bahasa dan budaya. Sebenarnya hadis tersebut tidak menjelaskan secara keilmuan tentang pengetahuan tentang struktur jumlah usus, akan tetapi hadis tersebut mengandung muatan style kebahasaan yang sangat bagus, yakni dengan menggunakan uslub (gaya bahasa) kiasan atau metafora (majazi).
Hadis Nabi Saw tersebut menjelaskan tentang perbedaan karakter atau sifat antara orang mukmin dan orang kafir, bukan menginformasikan tentang perbedaan penciptaan usus orang mukmin dan usus orang kafir yang memiliki konstruksi berbeda. Karena siapapun orangnya dan dari manapun asalnya memiliki struktur dan konstruksi organ tubuh yang sama . Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat tentang hadis tersebut adalah pemahaman majazi, yakni orang mukmin mempunyai karakter tidak berlebih-lebihan (sedikit) dalam soal makan, sedangkan orang kafir memiliki perbedaan karakter makan berlebihan (banyak). Jadi hadis tersebut bermakna "(dalam soal sifat berlebihan makan, seolah-olah) orang mukmin (ibaratnya) makan dengan satu usus. "Kesimpulan ini dapat dirunut dari karakter dalam budaya bertamu bagi seorang mukmin yang harus menjaga etika bertamu dan etika makan. Seorang mukmin yang bertamu kepada seseorang – secara etika- tidak baik dan menyalahi budaya bertamu manakala meminta tambahan jamuan yang dihidangkan oleh tuan rumah.
Argumen di atas diperkuat dengan analisis korelasional-redaksional yang tercantum dalam matan hadits versi riwayat Imam Muslim. Dalam kisah orang kafir yang sedang bertamu , sajian yang diperintahkan Nabi Saw untuk disantap tamu adalah minuman susu perah dari kambing, sehingga orang kafir tersebut meminum susu perah kambing (فشرب حلابها). Adapun komentar nabi saw ketika dia (setelah masuk islam) disaji minuman susu perah kambing untuk kedua kalinya agar diminum lagi, tetapi tidak diminumnya (المؤمن يشرب في معى ماحد والكافر يأكل في سبعة أمعاء). Komentar Nabi saw dalam hadits ini menggunakan kata minum, bukan makan, namun pada kesempatan lain menggunakan kata makan untuk mengilustrasikan karakter orang kafir. Dengan demikian analisis korelasional-redaksional ini dapat diketahui bahwa hadits ini diungkapkan dengan menggunakan formula stilistika bahasa berbentuk majazi, sehingga diartikan dengan makna kiasan (majazi) bukan hakiki.
Hal di atas hampir sama terjadi dalam ungkapan bahasa Indonesia ketika melihat orang makan dengan porsi yang sangat banyak dan melebihi kelaziman, maka orang tersebut dapat dikatakan dengan sindiran " usus orang itu panjang ", yang maknanya tidak berarti "panjang" dalam pengertian sebenarnya, tetapi mengandung arti "makannya banyak".
Adapun kalimat "tujuh usus" dalam hadits tersebut bukan bertujuan untuk menyebut angka tujuh seperti yang dikenal dalam ilmu matematika. Akan tetapi bermaksud menyebut jumlah yang banyak. Dalam perspektif kebahasaan (lughawi) penyebutan kata tujuh bukan bermaksud li al tahdid (pembatasan), tetapi li al taktsir (jumlah yang banyak). Makna ini berangkat dari kultur orang Arab yang biasa menyebut sesuatu yang banyak dengan angka tujuh atau tujuh puluh.
2. Hadits Kedua
Hadits tentang Tangan Panjang

حدثنا محمود بن غيلان , أبو أحمد, حدثنا الفضل بن موسى السيناني, أخبرنا طلحة بن يحيى بن طلحة عن عائشة بنت طلحة عن عائشة أم المؤمنين قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أسرعكم لحاقا بي أطولكم يدا. قالت يتطاولهن أطول يدا قالت فكانت أطوالنا يدا زينب, لأنها كانت تعمل بيدها وتصدق.

Diriwayatkan dari Aisyah Ummil Mukminin ra. Dia berkata: Rasulullah saw pernah bersabda kepada istri beliau : Di antara kalian yang lebih dulu menyusulku adalah yang yang paling panjang tangannya. Kata Aisyah: Maka mereka saling mengukur tangan siapa yang paling panjang. Kata Aisyah: Zainablah yang paling panjang tangannya di antara kami, karena dia beramal dan banyak bersedekah dengan tangannya.

حدثنا موسى بن اسماعيل حدثنا أبو عوانة عن فراسي عن الشعبي عن مشروق عن عائشة رضي الله عنها: أن بعض أزواج النبي صلى الله عليه وسلم قلن للنبي صلى الله عليه وسلم : أينا أسرع بك لحوقا؟ قال: أطولكن يدا فأخذوا قصبة يذر عونها فكانت سودة أطولهن يدا فعلمنا بعد أنما كانت طول يدها الصدقة وكانت أسرعنا لحوقا به وكانت تحب الصدقة.
Dari Aisyah ra. Ia berkata: sebagian istri nabi saw bertanya kepada beliau: Siapakah diantara kami yang lebih dulu menyusulmu? Jawab Nabi saw: siapa yang paling panjang tangannya. Lantas mereka mengambil sepotong ranting lalu metreka mengukur tangan mereka. Ternyata Saudah yang lebih panjang. Barulah dikemudian hari mereka ketahui bahwa yang dimaksud tangan panjang ialah yang paling banyak memberikan sedekah. Ituylah istri beliau yang paling dahulu bertemu dengan beliau di akhirat nanti, dan saudah sangat suka bersedekah.

Dua hadits di atas menggambarkan pengertian majazi bukan hakiki. Makna panjang tangan ternyata tak dapat diartikan secara hakiki, mengingat bahwa istri nabi yang disebut mengikuti nabi lebih dahulu (wafat) ternyata adalah zainab atau Saudah yang ternyata paling banyak bersedekah, bukan yang panjang tangannya dalam ukuran meter. Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat tentang hadis tersebut adalah pemahaman majazi, yakni istri yang mengikuti Nabi saw lebih dulu (bertemu di akhirat) adalah yang paling banyak shadaqahnya di dunia. Jadi, Panjang tangan” yang dimaksud adalah dalam makna kiasan, yakni orang yang tinggi etos kerjanya (banyak melakukan kebaikan). Dalam hal ini, ternyata isteri Nabi yang paling pertama menyusul Nabi adalah Zainab binti Jahsy, seorang wanita yang kreatif, banyak berkarya dan suka bersedekah.





3. Hadits Ketiga
Hadits Tentang Mengencangkan Ikat Pinggang
حدثنا اسحق بن ابراهيم الحنظلي وابن أبي عمر جميعا عن أبي عيينة قال اسحق : أخبرنا سفيان بن عيينة عن أبي يعفور عن مسلم بن صبيح عن مسروق عن عائشة رضي الله عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر أحي الليل وأيقظ أهله وجد وشد المئزر.
" Dari Aisyah ra berkata, bahwa Rasulullah saw bila memasuki 10 malam terakhir, ia menghidupkan dan membangunkan keluargan dan giat serta mengencangkan ikat pinggang".
Hadits dari ummul mukminin, Aisyah ra., menceritakan tentang kondisi Nabi saw. ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan: “Beliau jika memasuki sepuluh hari terkahir Ramadhan, mengencangkan ikat pinggang, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.”
Jika dianalisis, maka kita temukan makna majazi dalam hadits ini yakni pada kata mengencangkan ikat pinggang. Karena jika diartikan secara hakiki maka mengencangkan ikat pinggang bermakna Rasulullah mengikat pinggangnya erat-erat. Padahal yang dimaksud bukan itu, tetapi kiasan bahwa Rasulullah tidak melakukan hubungan seks dengan istri-istrinya. Rasulullah saw menyibukkan diri dengan taqarrub ilallah, munajat, tilawah Al Qur’an, do’a, istighfar, muhasabah dan lainnya. Gambaran menghidupkan malam-malam itu beliau istilahkan sendiri dengan ungkapan ”Syaddul mi’zar. Mengencangkan ikat pinggang”. Beliau juga membangunkan keluarganya untuk begadang di malam-malam akhir Ramadhan. Rahasianya adalah untuk meraih lailatul qadar. Sunnah ini dilanjutkan oleh para istri-istri Rasulullah saw dan para sahabatnya radliyallahu ajma’in.


4. Hadits Keempat
Hadits Tentang Demam adalah Serpihan Api Neraka Jahannnam

حدثنا مالك بن اسماعيل حدثنا زهير حدثنا هشام عن عروة عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الحمى من فيح جهنم فأبردوها بالماء.
Malik bin Ismail menceritakan kepada kami (ia berkata) Zuhaer menceritakan kepada kami, (ia berkata) Hisyam menceritakan kepada kami (yang terima) dari Urwah (yang berasal) dari aisyah ra dari Nabi saw bersabda: "Demam panas adalah serpihan api neraka jahannam, maka dinginkanlah dengan air".
Hadits ini menginformasikan bahwa penyakit demam panas berasal dari neraka jahannam. Secara ilmiah menurut kesehatan bahwa demam itu disebabkan oleh microba atau virus, jadi bagaimana mungkin panas demam itu dari api neraka?.
Dalam menyikapi hadits ini, para ulama menyantakan hadits ini bersifat majazi. Oleh karena itu dipahami hadits ini bahwa panasnya demam seperti panasnya api neraka . Hadits tentang panas dari api neraka bertujuan memberikan informasi tentang sumber (asal usul) panas, bukan penyebab panas. Simpulan ini diperoleh dari bentuk redaksi yang disampaikan oleh Nabi saw berupa kalam khabar (kalimat informatif).
Secara substansial hadits ini berisi informasi tentang sakit demam dan terapi, dapat digolongkan sebagai satu mu'jizat nabi saw di bidang ilmu kedokteran yang tidak mungkin diketahui melalui pembelajaran atau perantaraan wahyu.

III. Penutup

Memahami hadits-hadits Rasulullah saw memang tidak mudah, karena maknanya boleh jadi hakiki dan juga majazi (kiasan). Selama tidak ada karinah yang memungkinkan suatu teks hadits dimaknai majazi, maka tetap bermakna hakiki. Namun apabila, ada indikasi yang menjadikan maknanya dapat menjadi majazi, maka teks hadits tersebut bias dimaknai secara majazi (kiasan).
Namun memaknai teks hadist dengan hakiki atau majazi tidak lepas dari pandangan para ulama yang telah berusaha meneliti kandungan hadits-hadits tersebut agar masyarakat awam tidak salah dalam menafsirkannya. Wallahu a'lam bi al shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Al Bukhori, Muhammad bin Ismail, 1987. Shahih Bukhori, Beirut: Dar Ibn Katsir
An Naisaburi, Muslim bin Hajjaj al Qusyairi, 1992, Shahih Muslim, Beirut: Dar el fikr
Al Qasimi, Abdullah bin Ali al Najdi, 1985, Musykilat al Ahadits al Nabawiyyah wa Bayanuha, Libanon: Dar el Qalam
Al Tirmizi, Sunan al Tirmizi, Beirut:Dar al Ihya al Turats al Araby, tt
Nizar Ali, Hadits Versus Sains, Yogya: Penerbit Teras, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar